Oleh : Subarwan Sakoy, SH,MM. Dewan Pertimbangan DPC APINDO Halmahera Timur.
HALTIMTV.COM – Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Maluku Utara tahun 2026 melalui Keputusan Gubernur Nomor : 524/KPTS/2025 memberikan sinyal penting bagi keberlanjutan industri pertambangan dan pengolahan mineral di kawasan timur Indonesia.
Kenaikan UMP sebesar 3 persen, disertai penetapan Upah Minimum Sektoral (UMSK) yang lebih kontekstual, menunjukkan upaya pemerintah menjaga keseimbangan antara perlindungan pekerja dan iklim investasi.
Untuk sektor pertambangan nikel, upah minimum ditetapkan di kisaran Rp3,72 juta dengan kenaikan sekitar 2 persen.
Sementara itu, sektor pengolahan mineral dan nikel berada pada kisaran Rp3,51 juta dengan kenaikan sekitar 2,7 persen.
Kebijakan ini mencerminkan pendekatan yang lebih realistis terhadap karakter industri strategis yang padat modal, berisiko tinggi, dan sangat bergantung pada efisiensi biaya.
Dari sudut pandang bisnis, tantangan utama bukan semata pada besaran persentase kenaikan upah, melainkan pada bagaimana dampaknya dikelola secara sistemik. Struktur pengupahan, risiko wage compression, produktivitas tenaga kerja, serta biaya tidak langsung menjadi faktor kunci yang menentukan daya saing industri.
Kenaikan upah yang tidak diiringi peningkatan produktivitas dapat menekan margin usaha dan mengurangi fleksibilitas investasi.
Di sisi lain, bagi pekerja, kepastian upah minimum dan terbukanya ruang dialog industrial yang sehat merupakan fondasi stabilitas hubungan kerja.
Kepastian ini penting untuk menjaga kepercayaan tenaga kerja, mencegah konflik, dan memastikan keberlanjutan operasional di wilayah industri yang memiliki tantangan sosial dan geografis tersendiri.
Karena itu, UMP dan UMSK seharusnya diposisikan sebagai baseline kepatuhan, bukan sebagai satu-satunya instrumen kesejahteraan.
Keberlanjutan industri justru dibangun melalui peningkatan produktivitas, sistem total rewards berbasis kinerja, serta hubungan industrial yang konstruktif dan saling percaya antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah.
Ditengah agenda hilirisasi nikel dan transisi energi global, Maluku Utara memegang peran strategis dalam rantai pasok industri baterai dan energi masa depan.
Dalam konteks ini, keseimbangan antara return on investment (ROI), daya saing biaya, dan kesejahteraan tenaga kerja menjadi fondasi utama bagi investasi yang berkelanjutan.
Kebijakan upah yang adaptif, dialog sosial yang matang, dan fokus pada produktivitas akan menjadi penentu apakah peluang besar ini dapat dimanfaatkan secara optimal bagi daerah, industri, dan tenaga kerja Indonesia.
















