Oleh Salahuddin Lessy
Almahera Climate Action
MIMBARBERITA.ID – Di balik hiruk-pikuk industri nikel yang disebut-sebut sebagai penopang masa depan ekonomi Indonesia, sebuah pola sistematis diduga kuat menyelubungi praktik pencucian uang (money laundering) di sebuah pulau kecil di Maluku Utara.
Analisis mendalam terhadap data keuangan, kepemilikan perusahaan, dan pola perdagangan dari 2015 hingga 2025 mengungkap sebuah siklus yang telah berjalan dengan rapi, menggerus potensi pendapatan negara dan memperkuat jaringan yang telah mapan.
Modus Operandi : Siklus yang Terintegrasi
Siklus ini berputar dimulai dari fase placement. Dana yang diduga berasal dari kegiatan ilegal lainnya di luar negeri atau dari korupsi proyek infrastruktur masuk dengan menyamar sebagai investasi. Sebuah perusahaan, sebutlah PT Nusantara Mineral, memperoleh izin tambang dengan nilai investasi yang digelembungkan. Dana masuk melalui serangkaian perusahaan cangkang (shell companies) yang terdaftar di yurisdiksi rahasia seperti Singapura dan British Virgin Islands.
Selanjutnya, masuk ke fase layering. Di lapangan, PT Nusantara Mineral melakukan dua praktik utama. Pertama, over-invoicing atau penggelembungan nilai faktur. Perusahaan membeli alat berat dan suplai dari vendor afiliasi di luar negeri dengan harga yang dinaikkan hingga 300% dari harga pasar. Selisihnya kemudian ditransfer kembali ke rekening pribadi para pemilik di luar negeri, setelah melalui beberapa lapisan perusahaan lagi.
Kedua, under-reporting produksi. Jumlah bijih nikel yang benar-benar ditambang dilaporkan lebih rendah kepada pemerintah. Selisihnya dijual secara gelap dan dananya disetor tunai dalam jumlah kecil ke dalam sistem perbankan (smurfing) atau digunakan untuk membiayai operasional yang tidak tercatat.
Fase integration terjadi ketika uang yang telah ‘bersih’ itu diintegrasikan ke dalam ekonomi formal. Para pemilik utama, yang disebut sebagai Ultimate Beneficial Owner (UBO), menggunakan dana tersebut untuk membeli aset-aset mewah seperti properti di Jakarta dan Surabaya atas nama keluarga atau staf kepercayaan. Mereka juga mendirikan PT Smelter Hijau Jaya, yang pembangunannya kembali digelembungkan biayanya melalui skema yang sama, sekaligus memberikan citra sebagai investor yang peduli pada hilirisasi.
Aktor di Balik Layar dan Kelemahan Sistem
Jaringan ini melibatkan segelintir elite lokal dan nasional. Seorang mantan pejabat daerah, inisialnya KG, diduga bertindak sebagai ‘penjaga gawang’ yang mempermudah perizinan. Seorang pengusaha dari Asia Timur, Mr. LB, diduga menjadi penyuplai dana dan pengatur jaringan perdagangan internasional. Seluruh kepemilikan sahamnya disamarkan melalui nominee dan trust company.
Kelemahan sistem pengawasan menjadi celah utama. Koordinasi yang lemah antara instansi bea cukai, dirjen pajak, dan otoritas jasa keuangan membuat praktik over-invoicing dan under-reporting sulit terdeteksi. Rezim pengungkapan kepemilikan manfaat (UBO) yang belum efektif mempermudah penyamaran identitas pemilik akhir.
Dampak dan Rekomendasi
Dampaknya sangat merugikan. Negara kehilangan penerimaan dari pajak, royalti, dan devisa. Lingkungan di pulau kecil mengalami kerusakan parah tanpa diimbangi manfaat ekonomi yang sepadan bagi masyarakat lokal. Praktik ini juga mendistorsi iklim usaha, karena perusahaan yang bermain bersih tidak mampu bersaing dengan perusahaan yang memanipulasi biaya.
Untuk memutus siklus ini, diperlukan langkah tegas. Pertama, penerapan database UBO yang terbuka dan terverifikasi secara ketat untuk seluruh pemegang izin tambang. Kedua, integrasi data real-time antara kepabeanan, perpajakan, dan produksi tambang untuk memantau anomali. Ketiga, peningkatan kapasitas penyidik keuangan untuk melacak transaksi lintas yurisdiksi yang kompleks.
Gemerlap nikel tidak boleh dikotori oleh siklus setan pencucian uang yang hanya menguntungkan segelintir orang. Masa depan sumber daya alam Indonesia harus dibangun di atas fondasi tata kelola yang bersih, transparan, dan berkeadilan.
*Nama dan entitas bisnis sengaja disamarkan















